sejarah

Angkot Plat Hitam

Posted on February 26, 2008. Filed under: sejarah |

Sebagai sebuah kota ,transportasi di Kota Tangerang menggunakan angkutan umum. biasanya sejenis mobil tipe Carry atau Kijang. Bus juga ada tapi melayani trayek menuju Jakarta atau Merak.

 

Kota Tangerang sendiri belum termasuk seperti Kota Bogor yang dijuluki Kota Seribu Angkot. Jumlahnya masih bisa dibilang dalam batas normal. Hanya saja, kian meningginya harga BBM tidak ayal mempengaruhi juga pendapatan para supir.

 

Tetapi, persaingan angkot lebih terasa ketika supir angkot berdemo perihal angkot plat hitam. Plat hitam merujuk pada mobil yang tidak memiliki ijin sebagai angkutan umum namun digunakan untuk angkutan umum.

 

Kehadiran angkot plat hitam jelas merugikan supir angkot resmi. Apalagi mereka juga beroperasi bersama supir trayek resmi.

 

a a a a

 

Entah sejak kapan angkot plat hitam hadir di Kota Tangerang. Tapi menurut penuturan Bang Jafar, salah seorang juragan angkot plat hitam, kehadiran angkot plat hitam sudah ada sejak Kota Tangerang masih berstatus Kabupaten Tangerang.

 

Ia menuturkan kalau saat itu angkutan umum masih terbilang jarang. Penduduknya juga jarang. Kondisi itu menjadi kesempatan hadirnya angkot plat hitam. Kala itu trayek yang muncul adalah Tangerang menuju Kota (Beos), Tangerang menuju Ciledug, Tangerang menuju Kampung Melayu, dan Tangerang menuju Serpong. Bahkan angkot plat hitam bebas keliling di dalam kota.

 

Kini kondisinya terbalik. Angkot plat hitam mulai dianggap masalah oleh kalangan supir trayek resmi. Apalagi selain alasan merebut penghasilan. Aksi demo dan anarkisme kerap mewarnai persaingan kedua kelompok supir itu.

 

Supir plat hitam berdalih mereka sudah lama mencari nafkah di Tangerang dan selama itu pula tidak ada komplain tentang pendapatan. Sementara supir trayek resmi merasa lebih berhak di jalanan karena telah membayar pajak. retribusi dan sebagainya.

 

Apapun yang terjadi, angkot plat hitam mulai tergusur. Mereka telah menjadi bagian perjalanan panjang Tangerang dalam bidang transportasi.

 

Jakarta, Februari 2008.

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Sedikit kenangan Pasar Cikokol

Posted on November 2, 2007. Filed under: sejarah |

15 Oktober 2007, pemkot Tangerang resmi menggusur Pasar Cikokol. Pasar ini rencananya dipindahkan ke lokasi pasar baru di Jalan Moh. Yamin Tangerang. Pasar baru modern Cikokol terdiri dari 190 kios, 166 los, 384 lapak, dan tambahan 150 kios. Di atas lahan lama akan dibangun Tangerang Trade Center.

 

Apapun wujudnya, tidak seperti penggusuran pasar di daerah lain rupanya penggusuran Pasar Cikokol win-win solution bagi pedagang dan Pemkot. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tapi penulis tidak ingin mengomentari penggusuran namun bercerita seputar kesan terhadap pasar ini.

 

Dulu semasa penulis kecil, lokasi rumah tidak terlalu jauh dari Pasar Cikokol. Saat itu pasar tidak terlalu ramai. Hanya saja menjadi pusat penjualan sayur-mayur dan buah-buahan. Pedagang pun tidak sampai berdagang di pinggir-pinggir jalan.

 

Jika sudah hari Minggu, banyak warga Tangerang yang mampir belanja usai senam atau lari pagi. Ibu penulis salah satunya. Pemandangan rombongan ibu atau bapak berseragam olahraga sambil kedua tangannya menenteng kantong belanjaan kerap terlihat di pagi hari.

 

Ketika itu juga Pasar Cikokol masih berdampingan dengan Terminal Cikokol. Kala itu terminal ini didatangi bus dari Bogor, Merak, dan Jakarta. Jika musim lebaran, keramaian tampak di lokasi ini. Pedagang ketupat dan bunga plus para pemudik yang ingin keluar kota.

 

Tetapi jaman terus berubah. Tangerang yang semula kota kecil terus berbenah sebagai penyangga Ibukota. Terminal Cikokol menjadi yang pertama kali dihapus keberadaannya. Kini berganti menjadi sebuah taman kota yang kian hari seperti tidak terawat. Penggantinya sendiri adalah Terminal Poris yang sayangnya enggan disinggahi sejumlah angkutan umum.

 

Pasar Cikokol pun akhirnya tergusur setelah berulang kali dicap merusak pemandangan kota. Memang sejak 90an, sudah jarang menemui warga yang menyempatkan berbelanja usai olahraga. Apalagi ditengah menjamurnya pasar modern yang tentunya lebih baik di hati konsumen.

 

Pasar Cikokol telah menjadi bagian dari kota Tangerang. Tapi kini hanya tinggal cerita saja. Kenangan untuk seluruh warga Tangerang.

 

Megi Primagara

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sungai Cisadane dari jaman ke jaman

Posted on November 1, 2007. Filed under: sejarah |

Sungai Cisadane.

Sungai yang mata airnya berada di Gunung Salak-Pangrango dengan posisinya sebelah selatan Kabupaten Tangerang ini merupakan sungai cukup besar melintasi Tangerang. Panjang sungai sendiri sekitar 80 kilometer dengan bermuara di Laut Jawa.

 

Sejak dahulu sungai Cisadane telah dimanfaatkan sebagai pengairan. Kompeni Belanda sendiri telah membuat sebuah bendungan guna mengatur debit air sungai Cisadane yang akan mengalir ke Batavia. Jika tidak demikian dikhawatirkan kota Batavia terendam banjir cukup parah.

 

Debit air sungai sendiri sangat bergantung curah hujan di daerah Bogor. Jika curah hujan tinggi bisa dipastikan debit air tinggi bahkan sampai akibatkan meluap. Saat penulis kecil, jarak rumah tidak terlalu jauh dari sungai. Pernah sekali warga sekampung dihebohkan air sungai yang meluap. Ketika itu mudah sekali mendapatkan ikan Lele, Sapu-Sapu, Gabus, dan lainnya. berbondong-bondong warga memenuhi tepi sungai dengan membawa ember. Senang sekali ketika itu bisa panen ikan tanpa repot memancing.

 

Entah apakah ikan-ikan masih banyak di sungai Cisadane, lantaran masih adanya beberapa industri yang membuang limbahnya ke aliran sungai. Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang saja pernah mengeluarkan laporan bahwa sungai kebanggan masyarakat Tangerang ini telah tercemar zat limbah seperti sianida, tembaga, seng, dan sebagainya. Ironinya, air sungai digunakan sebagai bahan baku produksi PDAM Kota dan Kabupaten Tangerang yang mensuplai kebutuhan air bersih masyarakat.

 

Untunglah masih ada perhatian pemerintah untuk menjaga kelestarian sungai Cisadane. Setidaknya pemerintah melarang pendirian rumah sepanjang bantaran sungai. Jika tidak, tentu limbah rumah tangga menambah pencemaran. Bisa jadi air sungai yang semula coklat berubah menjadi hitam dan bau seperti nasib sejumlah sungai di kota Jakarta. Pemerintah juga bertindak keras terhadap industri yang masih bandel membuang sampah ke sungai.

 

Pernah ada rencana menjadikan sungai Cisadane sebagai objek wisata dengan menyediakan perahu yang bisa disewa untuk susuri sungai. Hanya saja, rencana yang sudah terlakana itu tidak ditangani serius. Saat ini paling setahun sekali digelar Festival Perahu Naga yaitu lomba dayung di atas sungai Cisadane.

 

Menurut seorang sesepuh, Sungai Cisadane masa lalu lebarnya lebih luas dibandingkan kondisi saat ini. Ketika itu pedagang bamboo sering melintas. Penulis sendiri masih bisa melihat semasa kecil. Pemandangan yang menarik. pedagang bamboo berdiri di atas rakit yang juga dibuat dari batang-batang bamboo. Perlahan-lahan si pedagang mendayung rakitnya. Dalam sehari bisa lebih dari tiga kali pedagang melintas. Rasanya pemerintah perlu melirik membuat jalur transportasi air melalui sungai Cisadane.

 

Aroma mistis pun tidak bisa lepas jika membicarakan sungai Cisadane. Konon sering dikabari terdapat siluman buaya putih di sungai ini. Siluman ini berwujud buaya dan suka memangsa orang-orang yang sedang beraktifitas di tepi sungai, seperti mandi atau mencuci. Sampai pertengahan 80-an, memang masih ada masyarakat yang menggunakan aliran sungai Cisadane untuk mandi atau cuci. Buaya sendiri pun masih bisa ditemukan karena penulis pernah menemukannya di halaman belakang rumah.

 

Tetapi masa kini sungai Cisadane menghadapi tantangan jaman yang begitu berat. Upaya melestarikan bisa terus berlangsung jika sungai Cisadane dijadikan sebagai symbol kota. Sehingga anak-cucu pun masih bisa menyaksikan sebuah sungai yang bersih dan indah.

 

Megi Primagara

 

 

 

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 3 so far )

Mpok Ris, Pendekar Wanita Nan Jelita

Posted on September 25, 2007. Filed under: sejarah | Tags: , , |

Kalau mau ditelusuri, asal-muasal nama beberapa wilayah di Kota Tangerang terbilang cukup unik. Seperti asal nama Desa Poris Pelawad yang terletak di Kecamatan Cipondoh.

Dari cerita turun-temurun warga sekitar dan juga termuat dalam catatan profil daerah di kantor Kelurahan Poris Pelawad, nama Poris Pelawad sendiri berasal dari seorang pendekar wanita yang berjuang melawan kompeni.

Konon saat itu, kompeni menduduki wilayah Cipondoh sebagai basis pergudangan. Hal ini benar jika dilihat dari posisi benteng pertahanan kompeni di sekitar Batu Ceper, yang hanya berjarak sekilo sampai dua kilometer dari Cipondoh. Gudang pembekalan kompeni sendiri pernah ditemukan di sekitar Cipondoh.

Aktifitas kompeni cukup banyak menimbulkan derita di hati masyarakat. Diceritakan penjarahan atas hasil pertanian masyarakat kerap kompeni lakukan. Padahal masyarakat Cipondoh yang notabene suku Betawi sangat mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian.

Sudah menjadi sifat warga Betawi tidak diam begitu saja ketika dirinya terancam. Istilahnya “elo jual ane beli”, begitu pula yang dilakukan seorang pendekar wanita bernama Ris. entah siapa nama lengkapnya namun para sesepuh kala itu sering menyebutnya sebagai Mpok Ris.

Mpok Ris dikenang sebagai pendekar yang menguasai cukup banyak jurus silat, bahkan diceritakan dia pernah berguru kepada jawara-jawara Betawi sampe jagoan kungfu. Meski begitu, Mpok Ris juga digambarkan sebagai sosok jelita.

Entah berapa lama Mpok Ris melawan penjajah, namun ia terkenal selalu menggunakan batang pohon Plawad yaitu sejenis pohon tebu dalam aksinya. “Mpok Ris bisa bikin keok barisan prajurit kompeni hanya sekali tebas batang Plawad!”, begitulah hikayat para sesepuh menggambarkan kesaktian pendekar wanita jelita itu.

Ada yang bilang Mpok Ris kalah karena ia menikah padahal keperawanannyalah sumber kesaktiannya. ada yang bilang Mpok Ris kalah berkelahi dengan pendekar suruhan kompeni. Entah mana yang benar namun yang pasti sesepuh kemudian mengabadikan nama Mpok Ris yang kerap bertarung bersenjatakan batang pohon Plawad menjadi sebuah daerah bernama Poris Plawad.

 

Contributed by:  Eggi

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Pe Cun

Posted on June 8, 2007. Filed under: budaya, kegiatan, sejarah |

Festival Cisadane yang diadakan setiap tahun di sepanjang Kali Cisadane sebenarnya bertujuan untuk memperingati hari raya Pe Cun. Pe Cun di sini bukan artinya perek atawa WTS lho!! No no no…

Sebenernya aslinya sih bernama Pe Liong Cun. Tapi belakangan disingkat Pe Cun. Pe itu artinya mendayung. Liong itu naga. Cun itu perahu. Jadi Pe Liong Cun artinya Mendayug Perahu Naga. Makanya, kalau Festival Cisadane itu intinya adalah perlombaan mendayung perahu naga.

Perahu Naga?!? Yups, ini adalah perahu biasa yang panjang yang di kedua ujungnya berhiaskan kepala naga. Perahu ini didayung beramai-ramai.

Dari mana sejarahnya ada perahu naga? Begini nih ceritanya…

Pada jaman baheula, sekitar dinasti Chiu, hiduplah seorang mentri bernama Khut Peng a.k.a Khut Goan, pembantunya raja Chou Hoai Ong. Waktu itu lagi masanya perang beberapa negara, seperti Ce, Chou, Ian, Gui, Tio, Han, dan Cin.

Nah, sebagai negara yang terkuat, Cin selalu mau menakhlukan Chou. Cin menggunakan cara licik dengan memberikan janji-janji manis. Khut Goan yang tau tentang hal ini, memperingatkan raja Chou agar tidak terjebak. Namun, dasar si raja bego, dia tidak mempercayai kata-kata Khut Goan. Malah dia menganggap Khut Goan mau menghianatinya.

Khut Goan sakit hati karena raja Chou tidak mempercayainya. Akhirnya Khut Goan bunuh diri di Kali Lek Bio.

Waktu berlalu, perkataan Khut Goan terbukti benar. Cin menyatakan perang dengan Chou. Terjadi pertumpahan darah di sana. Karena Chou tidak siap, maka tentu saja Cin yang memenangkan perang. Banyak daerah Chou yang diambil oleh Cin.

Akhirnya rakyat menyesali kematian Khut Goan dan mereka berbondong-bondong pergi ke Kali Lek Bio untuk mencari mayatnya. Namun mereka tidak menemukannya.

Dari sini ada dua versi yang muncul.
1. Ada yang mengatakan bahwa karena takut rohnya Khut Goan dimakan oleh naga di kali, maka rakyat mendayung perahu ke tengah kali dan melempar ba cang. Mereka berharap naga-naga di kali kenyang dengan memakan ba cang sehingga tidak akan memakan Khut Goan.

2. Versi lainnya menyebutkan bahwa rakyat melempar makanan yang dimasukkan ke dalam bambu karena takut roh Khut Goan akan kelaparan. Namun, suatu malam seseorang yang bernama Au Hoe didatangi oleh roh Khut Goan. Menurutnya, roh itu mengatakan bahwa ia kelaparan karena makanan-makanan tersebut tidak sampai kepadanya. Naga-naga di kali memakan semuanya.

Roh Khut Goan menyuruhnya untuk membungkus makanan dengan daun bambu dan mengikatnya dengan benang sutra sehingga naga-naga di kali tidak akan memakannya. Nah, makanan yang dibungkus dengan daun bambu ini dinamai ba cang.

Referensi:
1. Wikipedia
2. TangerangMaya.com

Special thanks to:
Pak Janto dan Alex.
*****

Banyak yang tidak tahu asal usul dari perayaan Pe Cun ini. Apalagi generasi muda. Yang kita tahu adalah Pe Cun itu adalah hari makan ba cang. Gue juga dulu begitu… :p

Selain ba cang, ada juga kwe cang. Nanti gue kasih tau yah perbedaannya apa dan bagaimana cara membuatnya. Ditunggu…

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

« Previous Entries

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...